Pecinta Alam dan Spirit Perjuangan Soe Hok Gie
REP | 22 September 2013 | 11:18


Pecinta alam banyak yang justru lebih rajin ke gunung, sungai dan tebing daripada menentang Undang-undang yang berimplikasi merusak alam, melawan pelaku pencemaran atau bahu membahu menyelamatkan satwa liar yang sekarat. Padahal Soe Hok Gie yang merupakan ”kakek moyang” pecinta alam adalah demonstran tulen yang peduli dan berani melawan penguasa. Artinya pecinta alam sebenarnya punya ”gen” pejuang gigih yang tanpa pamrih. Namun, pecinta alam malah terkesan sebagai penikmat alam. Bukan sebagai. pecinta yang ”tulus dan penuh kasih sayang”.
Tentu banyak faktor yang membuat pecinta alam terkesan seperti itu. Salah satunya adalah ketika Orde Baru di tahun 1978/79 secara paksa menerapkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Maka pada saat itu pula daya kritis mahasiswa untuk mengkritik kebijakan pemerintahan Suharto mulai dibuat tak berdaya.
Karena konsep yang sekilas pandang “hanya” menata Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, sebenarnya punyaagenda tersembunyi, yaitu menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik agar kekuasaan Suharto aman tanpa pengusik. Agenda ini kemudian dibungkus dengan menanamkan doktrin bahwa : tugas mahasiswa adalah belajar sesuai dengan disiplin ilmu. Mahasiswa tak usah berpolitik karena politik tak boleh masuk kampus. Lagipula, kalau berpolitik, akan telat wisuda. Mahasiswa ideal adalah yang rajin kuliah, lulus dalam waktu singkat dan setelah wisuda cepat dapat kerja.
Akibat tatanan baru serta intens-nya Orde Baru mencekoki civitas academika dengan doktrin itu, maka lembaga kemahasiswaan di Fakultas – Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Senat mahasiswa (SM) beserta unit kegiatan dibawahnya – aktivitasnya hanya berkutat memandang, mengkaji lalu mengaitkan segala realias masyarakat dengan disiplin ilmunya semata dan tanpa melibatkan ada ”indikasi kesalahan Orde Baru” di dalamnya.
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) tingkat Universitas juga seperti itu. Beraktivitas sesuai judul lembaganya saja. Unit Seni misalnya, hanya mengurus kegiatan seni. Aktivis Penerbitan mahasiswa, aktivitasnya tak jauh dari sekedar belajar menulis artikel, membuat berita singkat yang jinak, lantas menjadikannya majalah, koran kampus atau buletin.
Begitu pula dengan lembaga Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) baik yang di Fakultas ataupun di level Universitas, sebagian besar porsi kegiatannya berbentuk aktivitas fisik di alam bebas. Sedangkan bhakti sosial dan penghijauan lebih tampak sebagai menu tambahan. Itupun cukup jarang dilakukan. Diskusi panas membahas politik lingkungan jauh lebih jarang lagi. Bahkan boleh dikata tak ada. Kendati demikain, perkembangan pecinta alam, relatif bagus.
Kegiatan pecinta alam tak lagi sebatas mendaki gunung. Pecinta alam mulai mengenal panjat tebing (rock climbing) dan dinding (wall climbing). Arung jeram (rafting), Penelusuran gua (caving) dan lain sebagainya. Lomba lintas alam, kompetisi orientering, ekspedisi dalam skala besar kerap digelar. Nyaris tak ada gunung, tebing, gua, hutan rimba, sungai di Indonesia yang belum didatangi pecinta alam. Pecinta alam Indonesia juga mulai mendaki gunung es di luar negeri. Gagasan mendaki tujuh puncak benua (Seven summit) secara bertahap direalisasikan. Media cetak pun sering menjadikan aktivitas pecinta alam sebagai menu utama dan publik gemar membacanya.
Pertumbuhan klub atau Perhimpunan Pecinta Alam (PPA) juga tinggi. Hampir semua Perguruan Tinggi di Indonesia ada Mapala. Siswa SLTA pun tak mau ketinggalan mendirikan organisasi Siswa Pecinta Alam (Sapala). Di luar institusi pendidikan, PPAjuga banyak muncul. Tetapi, karena Mapala merupakan pelaku paling aktif sekaligus kantong massa pecinta alam terbesar, maka pola pikir Mapala lebih dominan mewarnai atmosfir pecinta alam di Indonesia.
Memang tak semua PPA itu mengerti makna hakiki pecinta alam. Tak sedikit pula yang mendirikan PPA lantaran mengikuti trend semata. Banyak juga yang cuma mengaku-ngaku pecinta alam. Mereka yang “mendadak pecinta alam” inilah yang kesana kemari mendaki gunung hanya untuk mengejar pengakuan sebagai pecinta alam. Padahal mereka tidak mencintai alam.
Situasi itu akhirnya menjadi masalah tersendiri bagi pecinta alam beneran. Karena dari sanalah kemudian pecinta alam mendapat stigma sebagai kelompok hura-hura,semau gue dan datang ke alam hanya untuk menikmati alam demi kepuasan pribadi belaka dengan cara merusak alam. Seorang penyanyi Balada yang terkenal di era 80-an Rita Rubi Hartland, melukiskan situasi tak sehat itu melalui lagunya berjudul Pecinta Alam :
Pendaki gunung, sahabat alam sejati
Jaketmu penuh lambang, lambang kegagahan
Memploklamirkan dirimu pecinta alam
Sementara maknanya belum kau miliki
Jaketmu penuh lambang, lambang kegagahan
Memploklamirkan dirimu pecinta alam
Sementara maknanya belum kau miliki
Ketika aku daki dari gunung ke gunung
Disana ku temui kejanggalan makna
Banyak pepohonan merintih kepedihan
Dikuliti pisaumu yang tak pernah diam
Disana ku temui kejanggalan makna
Banyak pepohonan merintih kepedihan
Dikuliti pisaumu yang tak pernah diam
Batu batu cadas merintih kesakitan
Ditikam belatimu yang bermata ayal
Hanya untuk mengumumkan pada khalayak
Bahwa disana ada kibar bendera mu
Ditikam belatimu yang bermata ayal
Hanya untuk mengumumkan pada khalayak
Bahwa disana ada kibar bendera mu
Oh alam, korban keangkuhan
Maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan
Maafkan mereka yang tak mengerti arti kehidupan
Patriotisme Soe Hok Gie
Plus – minus dari semaraknya dunia pecinta alam diatas, secara langsung menunjukan keberhasilan rejim Orde baru menjauhkan pecinta alam dari isu pencemaran lingkungan, masalah pembalakan hutan yang menghancurkan keanekaragaman hayati, kasus pertambangan yang merusak lingkungan. Kebakaran hutang dan sebagainya. Orde Baru juga berhasil menumpulkan daya kritis pecinta alam terhadap Undang - undang (UU) dan Peraturan lainnya yang sebenarnya berpotensi besar merusak alam.
Akibatnya, pecinta alam lalai dengan masalah alam dan apatis terhadap aktivitas politik yang berkaitan dengan alam. Parahnya lagi, banyak pecinta alam yang malah beranggapan, pecinta alam yang baik justru tidak bersentuhan dengan politik. Mereka ke alam justru untuk menjauh dari hingar bingar politik. Di mata mereka, politik dan pecinta alam merupakan dua hal berbeda yang haram disatukan.
Padahal, masuk ke wilayah politik dan juga demonstrasi hakekatnya bukan hal asing bagi pecinta alam. Karena Soe Hok Gie, yang merupakan kakek moyang pecinta alam adalah seorang demonstran tulen, aktivis mahasiswa yang cerdas, kritis, berani, peduli kepada rakyat dan sangat patriot. Jika ada penyelewengan, Soe Hok Gie langsung cepat beraksi.
“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”, begitu yang sering diteriakannya.
“Saya putuskan bahwa saya akan demonstrasi. Karena mendiamkan kesalahan adalah kejahatan”, begitu yang sering diteriakannya.
Pecinta alam ke gunung bagi Soe Hok Gie, bukan karena menghindar dari carut-marut politik. Pecinta alam ke gunung justru karena tak percaya dengan slogan-slogan kosong dan hipokrisi (kemunafikan). Dengan kata lain, ke gunung merupakan sikap “perlawanan” pecinta alam terhadap slogan dan kemunafikan tersebut. Pecinta alam punya cara sendiri untuk membangun karakter bangsa (National building character), yaitu dengan mengenal Indonesia dan rakyatnya secara langsung. Kata Soe Hok Gie :
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia - manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Hebat betul methode Soe Hok Gie membangun karakter bangsanya. Methodenya bukan hanya cespleng menumbuhkan patriotisme, mengenal langsung kehidupan bangsa, melainkan sekaligus menyehatkan generasi muda secara fisik dan mental. Pemikiran Soe Hok Gie memang terkenal kreatif, jauh ke depan dan berbeda dari yang lain. Itulah yang membuat pikiran – pikirannya banyak mempengaruhi gerakan mahasiswa yang akhirnya berhasil menumbangkan kekuasaan Orde Lama.
Di masa peralihan kekuasaan itu, mudah saja bagi seorang Soe Hok Gie bergabung di barisan Orde Baru lalu menghamba kepada Suharto dan kemudian hidup nyaman.Namun karena Orde Baru dinilainya tak lebih baik dari Orde lama, Soe hok Gie kembali bereaksi keras. Soe Hok Gie yang merupakan eksponen 66 – seangkatan dengan Akbar Tanjung, Cosmos Batubara dll — termasuk aktivis pertama yang berani mengkritik habis-habisan Orde Baru.
Soe Hok Gie memang terkenal konsisten terhadap prinsip perjuanganya. Baginya, lebih mulia ”menjadi pohon oak yang berani menentang angin daripada menjadi kawanan pohon bambu”. Sekawanan bambu walaupun banyak tapi mudah doyongpadahal hanya ditiup angin sepoy. Ia tak peduli siapa yang berkuasa, jika menyeleweng, akan dilawannya. Ia tak takut ancaman. Tak pula gentar kendati harus berjuang sendiri. Bagi Soe Hok Gie, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”
Sayangnya, Soe Hok Gie pergi terlalu cepat. 16 Desember 1969, Soe Hok Gie menghembuskan nafas terakhirnya di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Puncak Semeru. Namun, nila -nilai patriot yang ditinggalkanya tak ikut hilang. Spirit perjuangannya tetap berkobar di sanubari pecinta alam dan generasi muda Indonesia.
Kode Etik dan Peristiwa Malari
Tak sampai lima tahun sepeninggal Soe Hok Gie, pecinta alam kembali bertemu di Gladian IV Ujung Pandang. Di banding yang sebelumnya, Gladian ini sangat istimewa sekaligus paling bersejarah, karena melahirkan Kode Etik Pecinta Alam yang hingga sekarang masih berlaku di dunia pecinta alam di Indonesia.
Saya memang belum menemukan data rinci tentang Gladian IV tersebut, namun melihat Kode Etik Pecinta Alam yang disahkan pada akhir Januari 1974, saya berasumsi peserta Gladian IV merupakan aktivis cerdas, kritis, pemberani, patriot, peduli kepada rakyat dan berwawasan jauh melampaui jamannya.
Asumsi itu didasarkan karena bulan Januari 1974 situasi Indonesia mencekam. Kemudian — dilandasi spirit perjuangan eksponen 66 (Soe Hok Gie cs) — mahasiswa dari berbagai Universitas di Indonesia yang diwakili oleh masing-masing ketua Dewan Mahasiswa (Dema) berkumpul di Jakarta. Lalu menemui Presiden Suharto. Namun, pertemuan ini tak membawa hasil signifkan untuk menuntaskan situasi di Tanah Air yang mencekam tersebut. Mahasiswa kecewa. Situasi memanas. Akhirnya muncul peristiwa yang hingga sekarang masih dianggap kontroversial, Malapetaka 15 Januari 1974 atau Peristiwa Malari.
Tanggal pengesahan Kode Etik Pecinta Alam hanya terpaut kurang dari dua minggu dari Peristiwa Malari. Dengan demikian, sangat mungkin sebagian peserta Gladian adalah aktivis Mapala yang juga anggota Dema. Atau pengurus Mapala yang merupakan teman bertukar gagasan anak - anak Dema. Mereka satu kampus dan sebagai sesama aktivis, anggota Mapala dan Dema pasti sering bertemu. Dalam menyikapi situasi yang sama, pola pikir sesama aktivis tentulah saling mempengaruhi, lalu saling menguatkan hingga kemudian tak lagi berbeda.
BACA SELENGKAPNYA klick disini
BACA SELENGKAPNYA klick disini
0 komentar: